Pagi ini, selepas saya bangun tidur saya mendapati sebuah buku yang bagi saya menarik, RUNTUHNYA SINGGASANA KIAI NU, Pesantren Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai karya Zainal Arifin Thoha. Gus Zainal begitu sapaan akrabnya adalah seorang kiai di Jogjakarta. Selebihnya, saya tidak terlalu tahu. Namun, nama beliau telah pernah saya akrabi beberapa tahun lalu semasa di pesantren. Nah, pagi ini saya ‘dipertemukan’ lagi oleh Sang Kausa dengan karyanya.
Buku tersebut berisi kumpulan esai yang telah dipublikasikan di media, baik lokal maupun nasional. Saya kagum pada beliau karena beliau menulis. Menulis apa yang ada benak beliau. Inilah hal yang jarang dilakukan kiai pesantren. Bagi saya, dakwah melalui tulisan lebih efektif dan lebih luas jangkauannya serta objeknya pun lebih dapat dipertanggungjawabkan, yakni minimal golongan pecinta baca.
Baiklah, pagi ini saya ingin berkomentar terkait beberapa tulisan beliau yang telah saya baca. Pertama, tulisan berjudul Kiai, Pesantren, dan Kekuasaan, kedua, Pesantren dan Kiai: antara Regenerasi dan Kemandegan. Karena mungkin temanya kepesantrenan, jadi saya tertarik untuk berbicara, entah ini pendapat yang sangat subjektif atau emotif saja.
Dalam dua tulisan ini, pertama dipaparkan bagaimana seorang kiai yang biasanya hanya ngurusi santri dan ummatnya tiba-tiba berubah menjadi tokoh politik dan kedua tentang regenerasi pesantren yang tidak lagi efektif hingga dapat berujung kemandegan. Kembali pada sosok kiai yang dianggap sebagai tokoh sentral pesantren dan masyarakat yang memegang teguh tradisi kepesantrenan, akhir-akhir ini kehilangan tajinya. Memang tidak semua kiai berlaku demikian. Masih banyak kiai yang teguh memegang nilai-nilai kepesantrenan.