MAKALAH
SEJARAH PESANTREN,
PERKEMBANGANNYA DAN TANTANGAN GLOBAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya
mayoritas beragama Islam, ternyata memiliki sebuah sistem pendidikan yang khas
dan unik bernama pesantren. Dikatakan khas karena pendidikan model pesantren
ini hanya berkembang pesat di Indonesia, sementara di negara lain akan sulit
ditemukan model pendidikan pesantren ini. Sedangkan yang dimaksud unik, karena
pesantren memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki secara lengkap oleh
sekolah-sekolah umum, seperti kyai, santri, pondok, kitab kuning, dan masjid.
Selain kekhasan serta keunikan tersebut, ternyata pesantren juga merupakan
pendidikan Islam asli produk Indonesia. [1]
Bahkan ada yang mengatakan bahwa pesantren itu adalah “bapak”-nya pendidikan
Islam di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata pesantren
memiliki banyak kelebihan atau keunikannya sehingga sangat menarik apabila
dibahas mulai dari sejarah kemunculannya hingga masa-masa perkembangannya.
Sebab, dengan mengetahui perjalanan sejarahnya seperti itu, maka akan mudah
menggambarkan sejauhmana kiprah, peranan, atau sumbangan yang telah diberikan
pesantren terhadap sistem pendidikan nasional Indonesia selama ini. Untuk
maksud tersebutlah, makalah ini ditulis.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Mengenal Pesantren
Sebelum menguraikan perjalanan pesantren di dalam bentangan sejarah
pendidikan Indonesia, perlu dijelaskan hal-hal penting yang melekat dengan kata
“pesantren”, seperti pengertian, karakteristik, dan tujuannya, dengan maksud
untuk lebih mengenal dan memahaminya secara kompleks dan integral dalam tulisan
ini.
Pengertian Pesantren
Kata pondok dan pesantren adalah dua kata yang tidak
bisa dipisahkan dalam pembahasannya, karena setiap membahas pesantren berarti
kita sedang membahas konsep pondok di dalamnya. Dengan demikian, sebelum
menjelaskan pengertian pesantren, berarti perlu dijelaskan terlebih dahulu arti
dari kata pondok tersebut.
Istilah pondok, sebenarnya berasal dari kata
dalam bahasa Arab, yaitu funduk, yang berarti rumah penginapan, ruang
tidur, asrama, atau wisma sederhana. Dalam konteks keindonesiaan, kata pondok
seringkali dipahami sebagai tempat penampungan sederhana bagi para pelajar atau
santri yang jauh dari tempat asalnya.[2] Arti pondok menurut pendapat
Sugarda Poerbawakatja,[3] adalah suatu tempat pemondokan bagi
pemuda-pemudi yang mengikuti pelajaran-pelajaran agama Islam. Inti dan realitas
pondok tersebut adalah kesederhanaan dan tempat tinggal sementara bagi para
penuntut ilmu.
Adapun istilah pesantren, berasal dari kata santri.
Ada yang mengatakan bahwa sumber kata santri tersebut berasal dari
bahasa Tamil atau India yaitu shastri, yang berarti guru mengaji atau
orang yang memahami (sarjana) buku-buku dalam agama Hindu. Ada pula yang
mengatakan bahwa pesantren itu berasal dari turunan kata shastra yang
berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan.[4] Ada juga yang mengatakan bahwa
istilah pesantren itu berasal dari bahasa Sankrit, yaitu sant dan
tra. Sant berarti manusia baik, sementara tra berarti suka
menolong, sehingga dari kedua kata tersebut terbentuklah suatu pengertian yaitu
tempat pendidikan manusia yang baik-baik.[5] Sementara dari arti terminologinya,
pesantren itu dimaknai sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama
atau pondok, dimana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat
kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai
yang diikuti oleh santri sebagai kegiatan utamanya.[6]
Berbeda dengan Mastuhu,[7] ia mengartikan pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,
menghayati, dan sekaligus mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Abdurrahman
Mas’ud mengartikan pesantren sebagai tempat di mana para santri mencurahkan
sebagian besar waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan. Bagi
Abdurrahman Wahid,[8] pesantren itu adalah a
place where santri (student) live.
Berbedanya pengertian istilah pesantren di
atas, disebabkan berbedanya kepentingan dan sudat pandang yang mereka gunakan.
Namun, jika ditarik sebuah kesimpulan, maka pesantren dimaknai sebagai lembaga
pendidikan sederhana yang mengajarkan sekaligus menginternalisasikan ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari agar anak didiknya (santri) menjadi orang
yang baik-baik sesuai standar agama dan diterima oleh masyarakat luas. Dari
pengertian pondok dan pesantren tersebut, dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksudkan dengan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
mengajarkan dan menginternalisasikan ajaran Islam kepada santri-santrinya dalam
lingkungan pondok-pondok sederhana agar mereka memiliki kemampuan agama dan
berakhlak mulia yang bisa diterima kehadirannya oleh masyarakat.
B.1 Ciri Khas Pesantren
Indonesia ternyata tidak hanya terkenal dengan ragam
suku dan budayanya saja, tetapi juga ragam dalam bahasanya. Keragaman bahasa
khususnya, menyebabkan keragaman pula dalam penyebutan pesantren. Aceh menyebut
pesantren itu dengan nama dayah atau rangkang, Minangkabau
menyebutnya dengan surau, Madura biasa menyebutnya penyantren.
Sementara di Jawa, umumnya menyebut dengan nama pondok pesantren.
[9]
Meskipun beragam sebutan untuk
pesantren, namun ciri khasnya tetap sama, yaitu adanya unsur-unsur pokok dalam
pesantren. Ciri khas atau unsur pokok dimaksud adalah: adanya kyai, masjid,
santri, pondok, dan pengajaran kitab Islam klasik (atau kitab kuning).[10]
1. Kyai
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab,
melainkan dari bahasa Jawa. [11] Menurut asal-usulnya, sebutan kyai
dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu:
1.
Kyai merupakan tokoh sentral yang memberikan
pengajaran.
2.
Kyai merupakan elemen paling esensial sebagai pendiri
dan penentu pertumbuhan serta perkembangan pesantrennya.
3.
Kyai merupakan julukan atau gelar yang diberikan
masyarakat bahwa pada umumnya tokoh-tokoh tersebut adalah alumni pesantren.[12] Kyai juga merupakan orang yang ahli
di bidang agama Islam dan memiliki atau menjadi pimpinan pesantren serta
mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.
Adanya kyai dalam pesantren
merupakan hal yang sangat mutlak, sebab dia adalah tokoh utama/sentral yang
memberikan pengajaran. Dia juga menjadi orang yang paling dominan dalam
kehidupan di pesantren. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan
pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan kyai.[13]
2. Masjid
Menurut bahasa, masjid berarti tempat sujud.
Sementara menurut istilahnya, masjid merupakan tempat yang digunakan
untuk melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Selain itu, masjid
juga dapat dipahami sebagai tempat pendidikan dan pembentukan moral keagamaan.[14] Dalam pesantren, masjid adalah
salah satu elemen penting dan menjadi tempat strategis untuk mendidik santri
dalam beberapa hal, seperti praktek shalat lima waktu, shalat Jum’at, khutbah
Jum’at, pengajaran kitab Islam klasik, pengajian al-Qur’an, diskusi keagamaan,
dan sebagainya.
Bahkan, dalam perkembangan terakhir ini, cukup banyak
pesantren yang membangun masjidnya dengan dilengkapi ruang atau kelas-kelas
secara terpisah. Tempat-tempat tersebut sering digunakan untuk kegiatan halaqah,
pengajaran, diskusi-diskusi, dan sebagainya. Sementara di dalam masjidnya,
belakangan ini sudah sering digunakan untuk i’tikaf, dzikir,
rapat kelembagaan, bahkan di samping atau halaman masjid sudah banyak juga yang
dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi.
Namun,
menurut M.Arifin syarat ketiga, masjid, tidak sekadar sebagai tempat ibadah
tetapi sebagai tempat Ibadah, tetapi sebagai mediator transfer ilmu dari kian
kepada santrinya. Masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan santri seperti Muhadlarah
(ceramah), bahts al-masail (membahas persoalan), dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, suatu lembaga pendidikan Islam tetap dapat disebut
pesantren walaupun tidak terdapat masjid selama masih ada ada gedung yang
berfungsi tempat ibadah dan pusat kegiatan, seperti mushalla. Dari segi latar
belakang historisnya pondok pesantren tumbuh dan berkembang dengan sendirinya
dalam masyarakat di amna terdapat implikasi-implikasi politis dan kultural yang
menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah. [15]
3. Santri
Santri merupakan salah satu komponen penting di dalam
pesantren, karena tanpa adanya santri, maka pesantren tersebut tidak akan
memiliki fungsi dan makna yang utuh. Santri umumnya ada dua kelompok, yaitu
santri kalong dan santri mukim. Santri kalong adalah
sebutan untuk santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah
masing-masing sesudah selesai mengikuti pelajaran di pesantren. Santri kalong
biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren, jadi tidak sulit baginya
untuk pergi-pulang dalam menuntut ilmu di pesantren. Sedangkan santri mukim
merupakan santri yang menetap di dalam pondok pesantren untuk sementara waktu,
dan biasanya mereka berasal dari daerah yang jauh dari lokasi pesantren. Pada
waktu lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh
merupakan suatu keistimewaan bagi santri karena dia harus memiliki cita-cita
yang penuh, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren.[16] Namun sekarang, tidak sedikit
santri yang masuk pesantren dan menetap di dalamnya dengan maksud lain, seperti
rehabilitasi pengguna narkoba, rehabilitasi kenakalan remaja, dan sebagainya.
Maksud atau tujuan masuk pesantren dengan latar belakang atau alasan tersebut,
tentu sudah jauh bergeser dari tujuan semula santri mukim dimaksud.
4. Pondok
Pondok merupakan tempat sederhana yang digunakan
sebagai tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Besarnya pondok sangat
tergantung dengan jumlah santrinya. Pemondokan santri ini dilakukan secara
terpisah, pondok untuk santri laki-laki dibuatkan terpisah dengan pondok santri
perempuan.
Pembangunan pondok ini biasanya menggunakan dana yang
bersumber dari keuangan kyai atau bantuan masyarakat. Sangat jarang
pondok-pondok ini dibangun oleh pemerintah, kecuali bantuan itu hanya ditujukan
pada pembangunan ruang belajar (kelas) atau fasilitas belajar.
Tujuan pembangunan pondok selain tempat tinggal
santri, juga bertujuan sebagai tempat latihan bagi mereka dalam rangka
pengembangan keterampilannya untuk hidup mandiri agar mereka lebih siap hidup
mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.[17] Sistem pondok atau asrama santri
ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan
pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain, seperti sistem pendidikan di
Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.[18]
5. Kitab Islam Klasik
Kitab Islam klasik yang sekarang dikenal dengan
sebutan kitab kuning merupakan hasil karangan dari ulama terdahulu, yang
isinya mengenai berbagai macam ilmu pengetahuna agama Islam dan bahasa Arab.
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan ulama
yang menganut faham Syafi’iyah merupakan satu-satunya pengajaran formal yang
diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran tersebut adalah
untuk mendidik calon-calon ulama.[19] Para santri yang bercita-cita
menjadi ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa Arab, melalui sistem sorogan,
sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.
Adapun zaman sekarang ini, kebanyakan pesantren telah
memasukkan pengetahuan umum dan tidak hanya mempelajari kitab-kitab Islam
klasik semata. Meskipun demikian, pengajaran kitab klasik tetap menjadi fokus
utama. Pada umumnya, pelajaran kitab-kitan Islam klasik itu dimulai dari yang
paling sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam.
Sebuah pesantren dapat diketahui kualitasnya dari kitab-kitab Islam klasik yang
diajarkan.[20]
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan
dalam kitab-kitab Islam klasik, yaitu: nahwu dan saraf; fiqh;
usul fiqh; hadis; tafsir; tauhid; tasawwuf
dan etika; dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Semua jenis kitab ini dapat digolongkan ke beberapa tingkatan, seperti tingkat
dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan pada pesantren di Jawa umumnya
sama.[21] Kesamaan kitab yang diajarkan itu
dan sistem pengajarannya tersebut telah menghasilkan homogenitas
pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan di kalangan santri di
seluruh Jawa dan Madura. Para kyai sebagai pembaca dan penterjemah kitab
tersebut, bukan sekedar membaca teks, tetapi juga memberikan
pandangan-pandangan pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa dari teks. Dengan
kata lain, para kyai tersebut yang memberikan komentar atas teks sebagai
pandangan pribadinya. Oleh karenanya, para penerjemah tersebut haruslah
menguasai tata bahasa Arab, literatur dan cabang-cabang pengetahuan agama Islam
yang lain. Selain itu, para kyai juga harus menjadi teladan dan punya
kharismatik, agar setiap penyampaiannya didengar dan diamalkan oleh santrinya.
B.2 Tujuan Pesantren
Pesantren adalah model pendidikan berasrama di
Indonesia. Pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan agama Islam,
khususnya melalui studi bahasa arab, tradisi penafsiran, hadis Nabi, hukum, dan
logika.[22] Namun secara mendasar, tujuan dari
pesantren adalah untuk membangun dan mengembangkan kepribadian muslim yang taat
kepada Allah SWT dalam kondisi beriman dan bertakwa. Ketaatan ini, selanjutnya
akan memancarkan kewajiban moral untuk menyebarkan ajaran dan spirit
Islam di antara manusia.[23]
Dalam perspektif lain, M. Arifin membagi tujuan
pesantren itu menjadi dua hal, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
pesantren adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia berkepribadian
Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat
sekitar melalui ilmu dan amalnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah
mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[24]
Berdasarkan uraian di atas, dapat diintisarikan bahwa
tujuan pendidikan pesantren adalah untuk memperdalam pengetahuan agama Islam,
membangun dan mengembangkan kepribadian muslim agar selalu taat dalam beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT di setiap kondisi, dan melaksanakan dakwah
Islamiyah.
C. Sejarah Awal Pertumbuhan Pesantren
Keberadaan pesantren masa awal pertumbuhannya tidak
terlepas dari sejarah perkembangan Islam di Timur Tengah. Hal ini bisa dilihat
dari aspek metode, materi atau kelembagaannya yang sangat diwarnai oleh corak
pendidikan Islam di Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Dalam konteks
penyebaran Islam itulah, pesantren mulai terbentuk dan tumbuh di Indonesia.
Untuk menelusuri pertumbuhan pesantren pada masa
awalnya di Indonesia, perlu dikemukakan terlebih dahulu sejarah masuknya Islam
ke Nusantara. Berdasarkan beberapa sumber, ada tiga versi yang secara jelas
menerangkan terkait masuknya Islam ke Indonesia.
1.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7:
§
Seminar masuknya Islam di Indonesia (di Aceh),
sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al-Mas’udi, yang menyatakan bahwa pada
tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga.
Pada tahun 648 M diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur
Sumatera.
§
Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History
(1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M
yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam
perjalannya ke China.
§
Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay
Archipelago, di dalamnya telah menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di
kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
§
Sayed Naguib al-Attas dalam Preliminary Statemate
on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969),
di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan
Malaya-Indonesia pada 672 M.
§
Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to
Malaysia pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab
telah masuk ke Malaya.
§
S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya
berjudul Islam di India dan Hubungannya dengan Indonesia, menyatakan
bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687
sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
§
WP. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia
and Malaya Compiled From Chinese Sources, menjelaskan bahwa Hikayat Dinasti
T’ang memberitahukan adanya Arab muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun
674), (Ta Shih = Arab Muslim).
§
T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a
History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam
datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
2. Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 11:
§ Satu-satunya sumber ini adalah
ditemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makamnya
Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf
Arab Riq’ah yang berangka tahun 1082 (dimasehikan).
3. Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 13:
§ Catatan perjalanan Marcopolo,
menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack)
di Aceh, pada tahun 1292 M.
§
K.F.H. Van Langen, berdasarkan berita China telah
menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
§
J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse
Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit Hindoesten, menyatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
§
Beberapa sarjana Barat seperti R.A Kern, C. Snouck
Hurgronje, dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-13, hal ini berdasarkan sudah adanya beberapa kerajaaan
Islam di kawasan Indonesia.[25]
Berdasarkan sumber-sumber di atas, dapat dinyatakan
bahwa argumentasi dan bukti yang cukup kuat mengenai masuknya Islam ke
Indonesia adalah pada Abad ke 7 Masehi. Jika pada abad 7 tersebut Islam
benar-benar mulai masuk ke Indonesia, berarti pada masa itu, peradaban Islam di
Timur Tengah sedang cerah. Sebab, sekitar abad ke 6 – 7 Masehi, obor kemajuan
ilmu pengetahuan berada di pangkuan peradaban Islam. Dalam lapangan kedokteran,
muncul nama-nama terkenal seperti: Al-Hawi karya al-Razi (850-923) merupakan
sebuah Ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai
masanya.
Meskipun
Timur Tengah sedang mengalami kemajuan pada abad tersebut, namun yang membawa
Islam ke Indonesia adalah pedagang yang disinyalir orangnya hidup tidak selalu
menetap. Artinya, setiap musim pelayaran, mereka pergi berdagang sesuai dengan
arah mata angin. Apalagi ketika mereka memasuki wilayah Indonesia, kondisi
masyarakatnya saat itu masih sangat sederhana dan banyak dipengaruhi oleh agama
Hindu, sehingga diperkirakan ajaran Islam yang mereka sebarkan juga disesuaikan
dengan keadaan masyarakatnya.
Hal ini begitu terlihat pada saat Wali Songo
yang menyebarkan ajaran Islam, kebudayaan masyarakat setempat sering dijadikan
modal dasar bagi mereka untuk menyisipkan ajaran Islam. Misalnya saja Sunan
Kalijaga menggunakan Wayang sebagai media dakwahnya. Islamisasi kebudayaan
sebagai strategi penyebaran Islam tersebut tentunya sangat mempermudah
diterimanya ajaran yang disampaikan. Oleh karena itu, dalam catatan sejarah, Wali
Songo sangat berhasil menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam di
Indonesia.
Demikian pula dalam catatan sejarah, pada zaman Wali
Songo inilah istilah pondok pesantren mulai dikenal di Indonesia. Ketika
itu, Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan
menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau
Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang
berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi. Padepokan Sunan Ampel inilah yang menjadi
cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Indonesia.
Salah seorang santri dari padepokan Sunan Ampel adalah
Sunan Giri yang mendirikan pesantren Giri Kedaton, beliau juga merupakan
penasehat dan panglima militer ketika Raden Patah melepaskan diri dari
Majapahit. Keahlian beliau di bidang Fiqh menyebabkan beliau diangkat menjadi mufti
se-tanah jawa. Santri dari Sunan Giri ini adalah Raden Patah yang kemudian
menjadi raja pertama di kerajaan Demak, yang merupakan putra terakhir dari Raja
Majapahit Prabu Brawijaya V. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di
tanah Jawa yang dibimbing oleh para Wali Songo. Pada masa Raden Patah
pula kerajaan Demak mengirimkan ekspedisi ke Malaka yang dipimpim Adipati Unus
untuk merebut selat Malaka dari tangan Belanda.
Apabila diteliti mengenai silsilah ilmu para Wali
Songo tersebut, akan ditemukan bahwa kebanyakan silsilahnya sampai pada
Sunan Ampel. Misalnya saja Sunan Kalijaga, beliau adalah santri dari Sunan
Bonang yang merupakan Putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yang banyak
menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga. Semua mereka tersebut punya jasa yang sangat
dalam penyebaran agama Islam.
Begitulah pesantren pada masa Wali Songo, ia
digunakan sebagai tempat untuk menimba ilmu sekaligus untuk menempa para santri
agar dapat menyebarluaskan ajaran agama Islam, mendidik kader-kader pendakwah
guna disebarkan ke seluruh Nusantara. Hasilnya bisa dilihat sendiri, Islam
menjadi agama mayoritas di Indonesia dan bahkan bukan hanya itu, jumlah
pengikutnya adalah yang terbanyak di dunia. Setelah itu muncul pula
pesantren-pesantren lain yang mengajarkan ilmu agama diberbagai bidang
berdasarkan kitab-kitab salaf.
D. Pesantren di Masa Kolonial
Setelah periodesasi perkembangan pesantren yang cukup
maju pada masa Wali Songo, masa-masa suramnya mulai terlihat ketika
Belanda menjajah Indonesia. Pada periode penjajahan ini, pesantren selalu
berhadapan dengan kolonialis Belanda yang sangat membatasi ruang geraknya.
Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik pendidikan dalam bentuk
Ordonansi Sekolah Liaratau Widle School Ordonanti. Melalui kebijakan
tersebut, pihak Belanda ingin membunuh madrasah dan sekolah yang tidak memiliki
izin. Selain itu, kebijakan formal Belanda tersebut juga bertujuan melarang
pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut mereka berpotensi memunculkan gerakan
subversi atau perlawanan di kalangan santri dan kaum muslim pada
umumnya. Setidaknya, tercatat empat kali pihak Belanda mengeluarkan peraturan
yang bertujuan membelenggu perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu pada
tahun 1882, 1905, 1925, dan 1932.[26]
Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan
pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun
1825 yang membatasi jumlah jamaah haji. Selain itu, Belanda membatasi kontak
atau hubungan orang Islam Indonesia dengan negara-negara Islam lainnya. Hal-hal
seperti ini pada akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi
tersendat. Sebagai respons penindasan Belanda tersebut, kaum santri mulai
melakukan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara tahun 1820-1880, telah
terjadi pemberontakan dari kaum santri di Indonesia, yaitu:
- Pemberontakan
kaum Padri di Sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol.
- Pemberontakan
Diponegoro di Jawa
- Pemberontakan
Banten akibat tanam paksa yang dilakukan Belanda.
- Pemberontakan
di Aceh yg dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro.
Akhirnya, pada akhir abad ke-19, Belanda mencabut
resolusi yang membatasi jamaah haji sehingga jumlah peserta jamaah haji pun
membludak. Hal ini menyebabkan tersedianya guru-guru pendidikan agama Islam dalam
jumlah yang besar, karena selain berniat untuk menunaikan ibadah haji, para
jamaah juga menuntut ilmu-ilmu agama, dan ketika mereka kembali lagi ke
Indonesia, mereka mengembangkan dan menyebarluaskan ilmunya. Lantaran adanya
niat ganda seperti ini, jumlah pesantren semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Adapun ulama-ulama Indonesia yang berkualitas internasional setelah
melaksanakan ibadah Haji, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi,
Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz At-Tarmizi, Syekh Abdul Karim, dan lain
sebagainya. Dari mereka itulah intisab keilmuan kyai-kyai Indonesia
bertemu.
Setelah penjajahan Belanda berakhir, Indonesia dijajah
kembali oleh Jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini, pesantren masih saja
berhadapan dengan kebijakan Saikere yang dikeluarkan pemerintah Jepang.
Melalui kebijakan tersebut, setiap orang bumiputra diharuskan membungkuk 90
derajat ke arah Tokyo setiap pagi jam 07.00 untuk menghormati atau memuja
Kaisar Jepang, Tenno Haika, yang diyakini sebagai keturunan Dewa Amaterasu.
Disinilah peran karismatik K.H Hasyim Asy’ari terbukti ampuh. K.H Hasyim
Asy’ari sangat menentang dan menolak ritual yang diatur oleh pemerintah Jepang
itu sehingga ia ditangkap dan dipenjara selama 8 bulan. Di luar dugaan pihak
Jepang, penangkapan dan pemenjaraan kyai tersebut justru melahirkan aksi
perlawanan di kalangan santri. Terjadilah demonstrasi besar-besaran yang
melibatkan ribuan kaum santri untuk menuntut pembebasan K.H Hasyim Asy’ari dan
menolak kebijakan Saikere.[27] Sejak itulah pihak Jepang tidak
pernah mengusik dunia pesantren, walau kekejamannya terhadap kaum bumiputra
lebih menyakitkan dibandingkan penjajahan Belanda.
Menjelang kemerdekaan, kaum santri telah dilibatkan di
dalam penyusunan undang-undang dan anggaran dasar Republik Indonesia, yang
diantaranya melahirkan piagam Jakarta. Namun, oleh golongan nasionalis sekuler,
piagam Jakarta tersebut dihilangkan sehingga kandas impian kaum santri untuk
mendirikan negara Islam Indonesia.
E. Pesantren di Masa Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, kaum santri kembali
berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut
disambut positif oleh umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya yang
dikomandoi Bung Tomo dengan semboyan “Allahhu Akbar! Merdeka atau
Mati” tidak gentar menghadapi penjajah dengan persenjataan lengkapnya.
Diperkirakan 10.000 orang tewas pada waktu itu, dan hasilnya, Inggris gagal
menduduki Surabaya.
Pada sisi lain, muncul pula kekuatan massal Islam
dalam bentuk organisasi ekonomi dan kemasyarakatan, seperti Serikat Dagang
Islam, Persyarikatan Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Lantaran itu, isu-isu
strategis tergalang sangat cepat di kalangan umat Islam karena dikuatkan oleh
fatwa-fatwa ulama yang mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah.
Setelah perang usai
dan Indonesia dinyatakan merdeka, pondok pesantren kembali mendapatkan ujian,
karena pemerintahan Soekarno yang dinilai sekuler itu telah melakukan
penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional. Akibatnya pengaruh pesantren
mulai menurun kembali, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besarlah
yang mampu bertahan.[28]
Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya.
Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu saja, dan di
samping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi
orang-orang yang bersekolah di sekolah tersebut.
Pada masa Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik
umat Islam dan negara, Golongan Karya (Golkar) sebagai kontestan Pemilu selalu
membutuhkan dukungan dari pesantren. Atas kebutuhan itulah pemerintah yang
dikuasai Golkar menaruh sedikit perhatian pada dunia pesantren. Dari kalangan pesantren
sendiri muncul intelektual santri yang secara sadar berusaha memperoleh
pembiayaan pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berbagai gagasan mulai muncul dalam rangka mengajarkan keterampilan di
pesantren, seperti peternakan, pertanian, kerajinan, dagang, dan lain-lain.
Suasana pun tampak kondusif hingga terbit kebijakan SKB 3 Menteri (Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri)
tentang penyetaraan madrasah dengan sekolah umum. Di sisi lain, sesuai dengan
dinamika politik dan dinamika dalam sistem pendidikan nasional, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) malah menolak alumni pesantren Gontor karena ijazah
pesantren tersebut tidak diakui pemerintah. Pesantren Gontor memang mengatur
sendiri kurikulum dan ijazah lulusannya. Padahal, untuk menjadi mahasiswa IAIN,
kualitas alumnus pesantren Gontor diakui lebih baik dibanding lulusan Madrasah
Aliyah versi SKB 3 Menteri.[29]
Dalam kasus di atas, jelas jasa dan peran pesantren
masih belum diakui eksistensinya secara baik oleh pemerintah. Kalangan santri
dari pesantren masih dianggap manusia kelas dua karena pendidikannya dinilai
tidak sesuai dengan standar pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah.
Bahkan, lulusan pesantren pada waktu itu tidak bisa diterima menjadi pegawai
pemerintah. Kondisi nyata seperti itu mengakibatkan pesantren mengalami pasang
surut perkembangannya hingga pada era pembangunan.
Meskipun demikian, pesantren tetap mampu melahirkan
ulama-ulama hebat yang sangat berjasa dan menjadi orang penting di negara
Indonesia ini. orang-orang di maksud di antaranya adalah KH. Wahid Hasyim, M.
Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, KH. Saifuddin Zuhri, dan lain-lainnya.
F. Potret Pesantren di Masa Sekarang
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru yang telah mampu
berkuasa selama + 32 tahun, perbaikan-perbaikan sistem pendidikan
Indonesia terus dilakukan. Perbaikan tersebut memberikan peluang yang cukup
positif bagi perkembangan pesantren di Indonesia. Berdasarkan data pada tahun
2003/2004, Dirjen. Lembaga Islam Departemen Agama RI telah mengeluarkan data
yang menjelaskan bahwa jumlah pesantren pada saat itu sudah mencapai 14.656
buah. Tentu bukan perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu
yang telah mencapai lebih dari 230 juta jiwa. Namun, perkembangan pesantren
terbilang cukup prospektif. Apalagi setelah terbitnya Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan pesantren
mulai diakui pemerintah. Terbitnya undang-undang tersebut telah menghapus
diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berbasis di pesantren selama
ini.
Meskipun udara segar tersebut telah berhembus, namun
pesantren selalu saja mendapatkan ujian. Salah satu ujian terberatnya saat ini
adalah adanya penilaian miring terkait sistem pendidikan pesantren, bahwa
pesantren itu dituduh sebagai sarangnya teroris. Pemerintah pun mulai menekan
dan mengawasi pesantren dengan menyebarkan agen-agen intelijennya. Adapun ujian
lainnya adalah semakin merebaknya paham-paham sekulerisme, pluralisme, dan
liberalisme yang dianggap virus oleh sebagian masyarakat, dan ironisnya yang
gencar menyebarkan virus tersebut adalah alumni-alumni dari pesantren. Belum
lagi dengan adanya penilaian rendah terhadap pesantren, bahwa kualitas
pendidikan pesantren tersebut sangat rendah dibanding sekolah-sekolah umum saat
ini.
Berdasarkan anggapan dan penilaian miring di atas,
akhirnya pesantren “diwajibkan” oleh pemerintah untuk terikat dengan berbagai
regulasi teknis dan ketentuan administratif. Seperti misalnya, pesantren
diharuskan mengikuti SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang meliputi; Standar
Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar
Pembiayaan, dan juga Standar Penilaian Pendidikan. Begitu pula mengenai
kurikulum, pesantren diwajibkan untuk memasukkan muatan pendidikan
kewarganegaraan, matematika, bahasa Indonesia, dan ilmu pengetahuan alam,
ditambah pendidikan seni dan budaya.
Berdasarkan adanya ketentuan di atas, banyak pesantren
yang sudah melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan rasio 70% mata
pelajaran umum dan hanya 30% saja mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam
yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.[30]
Jika sudah demikian keadaannya, maka porsi untuk mengajarkan kitab-kitab
klasik, baik yang bermuatan di bidang Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Ushul Fiqh,
dan sebagainya akan semakin berkurang. Akibatnya, keunggulan pendidikan
pesantren lama-kelamaan akan memudar dan kehilangan powernya.
Untuk menghindari hal tersebut, maka pesantren harus
konsisten memegang prinsip utamanya, yaitu: al muhafadzah ‘ala al qadim al
shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang
tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang
positif. Dengan cara berpegang teguh pada prinsip tersebut, pesantren akan bisa
tetap eksis dan tidak dilindas perkembangan zaman. Maka, idealnya pesantren ke
depan harus bisa mempertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab
kuning dari Ibtidaiyah sampai pada jenjang Aliyah sebagai KBM wajib santri dan
mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus
computer, bahasa Inggris, dan berbagai skill lainnya.
G. Kiprah Pesantren dalam Pendidikan Nasional
Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan
masyarakat dari waktu ke waktu. Khusus dalam bidang pendidikan, banyak hal yang
telah disumbangkan pesantren di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan pertama
dan tertua, tentu pendidikan pesantren menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh
pendidikan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Selain
itu, pendidikan pesantren telah banyak mencetak tokoh-tokoh intelektual pendidikan
Indonesia, yang pemikiran mereka itu sangat berpengaruh dalam merumuskan sistem
pendidikan nasional. Pada sisi lain, keberadaan pesantren ternyata memiliki
tiga peranan penting di Indonesia, yaitu: sebagai pusat berlangsungnya
transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan pemelihara terhadap
keberlansungan Islam tradisonal, dan sebagai pusat reproduksi ulama.
Untuk sekarang ini, sumbangan yang begitu nyata dari
sistem pendidikan pesantren terhadap pendidikan nasional adalah munculnya
wacana untuk pendidikan karakter bangsa. Sebagaimana di ketahui, bahwa model
pendidikan karakter di pesantren cukup berhasil dengan indikator telah
banyaknya mencetak ulama-ulama Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan
pesantren tidak hanya mementingkan aspek kognitif semata, tetapi juga sangat
mengutamakan pembentukan karakter atau akhlak santri-santrinya. Oleh karena
itu, untuk masa-masa yang akan datang, pendidikan pesantren diprediksi memiliki
peran sebagai model dalam Pendidikan Nasional, antara lain:
1.
Peran Instrumental
Upaya Pendidikan Nasional tidak
diragukan lagi memerlukan sarana-sarana sebagai media dalam mengejawantahkan
tujuannya. Sarana-sarana tersebut di bentuk secara formal dan informal yang
merupakan swadaya murni dari masyarakat. Dalam tatanan inilah pesantren sebagai
alat intrumen Pendidikan Nasional sangat-sangat partisipatif-emansipatoris.
2.
Peran Keagamaan
Pendidikan pesantren pada hakikatnya
dikembangkan untuk mengefektifkan usaha dalam penyiaran dan pengalaman
ajaran-ajaran agama. Tujuan intinya adalah mengusahakan terbentuknya manusia
yang berbudi luhur dengan penglaman keagamaan yang konsisten. Sedang Pendidikan
Nasional adalah untuk menciptakan manusia bertaqwa, sehingga untuk kepentingan
tersebut, pendidikan agama dikembangkan secara terpadu melalui sekolah/madrasah.
3.
Peran Mobilisasi Masyarakat
Dalam kenyataannya usaha-usaha
Pendidikan Nasional secara formal belum mampu menampung seluruh hak pendidikan
pesantren bagi putra-putrinya, demikian itu mungkin karena biaya yang
tidak serta anggapan bahwa pendidikan keagamaan sangat dibutuhkan. Jadi hal itu
merupakan sumbangsih pesantren dalam menggerakkan gairah pendidikan nasional.
4.
Peran Pembinaan Mental dan Ketrampilan
Sebagaimana tujuan pendidikan di
dalam Model Pendidikan Nasional adalah menciptakan manusia Indonesia yang
memiliki kepribadian mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan, maka pendidikan pondok pesantren dikembangkan
tidak hanya pada sektor agama saja, tapi juga ada pembinaan terhadap mental dan
sikap para santri untuk mandiri, dan meningkatkan ketrampilan dan berjiwa entrepreneurship.[31]
Semua hal tersebut di atas
membutuhkan sarana yang efektif dan efisien guna membina dan mengembangkan
manusia dalam masyarakat dengan pendidikan yang teratur, rapi, berdaya guna dan
berhasil guna. Oleh karena itu pendidikan Islam di Indonesia perlu
diorganisasikan dan dikelola secara rapi, efektif dan efisien melalui model dan
metode yang tepat guna dan berhasil guna.
Era Globalisasi
Ada
tiga penyakit besar masyarakat modern, yaitu: materialisme, hedonisme dan
individualisme.[32] gaya kehidupan
individualis menciptakan masyarakat egois yang mementingkan kehidupan pribadi
di atas kepentingan umum. Gaya hidup hedonis membuat penyakit HIV/ AID semakin
menjamur. Sementara gaya hidup materialis menjadikan seseorang memaknai hidup
berorientasi pada materi semata. Kalau 3 jenis penyakit di atas sudah
benar-benar mewabah di tengah kehidupan, bisakah pesantren menawarkan obatnya?
Manusia
modern hidup di tengah-tengah peradaban mutakhir yang ditandai dengan
kecanggihan teknologi informasi. Kecepatan arus informasi menawarkan dunia baru
yang memungkin terciptanya komunikasi bebas antar orang atau kelompok melalui
media audio visual seperti HP dan internet. Fenomena modern yang terjadi dari
awal melenium ketiga ini populer dengan sebutan era globalisasi. Era ini
menciptakan dunia terasa semakin sempit tetapi memaknai dunia kehidupan semakin
luas. Bumi yang sebelumnya terasa begitu luas dan menyulitkan komunikasi jarak
jauh anatar negara maupun benua terasa sangat sempit dengan lahirnya teknologi
informasi yang menjadi fasilitas pertautan budaya, transformasi nilai, dan
transfer gaya hidup. Jadi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
media audio dan visual di era ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap
pembentukan mindset, sikap, perilaku dan gaya hidup masyarakat. Hamilton megatakan, “Millenial movement may
be fantastic in their ideas and out look but they do create the concept of
change in cultures that had never before looked at the world as changing and
changeable”. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa gerakan perubahan telah menciptakan perubahan dalam budaya.
Sementara itu kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dunia ini dapat
berubah. Tentunya, perubahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut memberikan dampak negatif terhadap kehidupan sosial, agama, dan budaya
masyarakat.
Kecanggihan
teknologi mendatangkan budaya asing dan menggeserkan budaya lokal, ajaran agama
yang sudah tertanam kuat, bahkan menciptakan masyarakat amoral yang merusak
tatanan sosial yang sudah tertata rapi. Lebih jauh lagi, era ini mengenalkan
pola hidup individual yang tentunya menggeser pola hidup masyarakat gotong
royong, menjauhkan hidup dari agama dan menuai krisis moral. HP mempermudah
peredaran sabu-sabu, narkoba, dan aksi kejahatan lainnya; televisi dan internet
menawarkan gaya hidup hedonis yang menyebabkan mewabahnya penyakit HIV/ AIDS.
Selain
persoalan dekadensi moral dan agama, kehidupan modern juga berdampak terhadap
persoalan ekonomi masyarakat. Kehidupan masyarakat modern tidak hanya cukup
bergantung pada kekayaan alam, akan tetapi lebih dari itu, masyarakat modern
membutuhkan fasilitas komunikasi sepetti HP, Televisi, kendaraan seperti motor
dan mobil, mereka juga membutuhkan biaya yang besar untuk pendidikan. Kebutuhan
semacam ini baru dapat dipenuhi apabila ekonomi masyarakat sudah berdaya.
Perekonomian masyarakat Indonesia
berada pada tingkat yang rendah, angka kemiskinan makin meningkat dan
penghasilan makin jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu,
penciptaan kemakmuran dirasakan amat mendesak., jika kita tidak mau ketinggalan
oleh negara-negara tetangga dengan segala akibatnya. Hal ini tidak hanya
menuntut peluang kerja yang disediakan pemerintah saja, akan tetapi bekal
sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Dalam hal ini, pesantren dapat berperan
maksimal dengan memberikan bekal ilmu dan keterampilan yang cukup.
Namu, akhir-akhir ini kesadaran
pondok pesantren dalam memainkan perannya sebagai lembaga pemberdayaan
masyarakat semakin menipis. Padahal kiprahnya dalam aspek ini, sangat
dibutuhkan mengingat SDM Indonesia sangat rendah . posisi daya saing bangsa
Indonesia di tengah-tengah bangsa di dunia ini sangat lemah.[33]
Jadi peran pesantren sebagai pusat pemberdayaan masyarakat diharapkan mmapu
meningkatkan SDM dan daya saing masyarakat Indonesia.
Di antara aspek kehidupan masyarakat
yang harus diberdayakan oleh pesantren adalah penguatan ekonomi. Pesantren
sebagai lembaga keagamaan memandang angka kemiskinan di Indonesia sangatlah
rendah. Karena, menurut konsep agama, kategori miskin ditentukan oleh kecukupan
dan kelayakan hidupnya. Orang yang termasuk miskin adalah orang yang sudah
memiliki pekerjaan halal dan sejumlah harta, tetapi masih belum mampu mencukupi
kebutuhan hidup orang-orang yang berada dalam tanggung-jawabnya. Bertolak dari
pandangan ini, pesantren hendaknya berupaya maksimal dalam membangun
kesejahteraan masyarakat.
Model Pondok Pesantren pada Era
Globalisasi
Dalam
upaya membangun masyarakat yang maju dalam konteks globalisasi yang ditandai
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pondok pesantren merupakan
merupakan lembaga pendidikan yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat
harus bersikap kooperatif terhadap perkembangan tersebut. Namun karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kerusakan moral dan
dekadensi akhlak, pondok pesantren lebih hati-hati dan bersikap lamban dalam
mengikuti arus globalisasi. Karena salah satu dan tanggung jawab pondok
pesantren adalah pembinaan moral.
Selama
ini materi yang diajarkan di pondok pesantren hanya terbatas pada ilmu agama,
sedangkan ketika santri kembali ke masyarakat mereka tidak hanya membutuhkan
pengetahuan agama tetapi juga pengetahuan umum dan keterampilan. Untuk itu,
materi pendidikan pondok pesantren harus memiliki orientasi yang berbeda dengan
memberikan penambahan materi tentang keterampilan. Idealnya ada 3 “H” yang
harus dididikkan kepada para santri, pertama head (kepala). Artinya,
mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan. Kedua heart (hati). Artinya
mengisi hati santri dengan iman dan takwa. Ketiga hand (tangan). Artinya
kemampuan bekerja. Tiga “H” tersebut dapat dilakukan rekonseptualisasi
kurikulum secara sistematis. Langkah-langkah sistematis yang dapat dilakukan
dan dikembangkan pondok pesantren dalam menjawab tantangan globalisasi adalah
penataan kurikulum, proses pembelajaran yang baik, pembentukan karakter,
pembentukan manusia religius dan akhlak, pembentukan manusia sebagai makhluk
sosial, dan pembentukan watak bekerja.
Pesantren
di era globalisasi adalah pesantren yang bisa memodifikasi antara kebutuhan
masyarakat dengan tujuan pesantren sebagai lembaga pembinaan dan pemberdayaan
umat. Tentunya, untuk mewujudkan hal
ini, pesantren harus bertolak pada paradigma yang digunakan dan melakukan
pembaharuan terhadap kekurangan-kekurangannya. Menurut Ahmad Tafsir, dalam
Islam ada tiga paradigma besar pengetahuan. Pertama, paradigma sains,
pengetahuan yang diperoleh dari akal dan indera seperti fiqh; kedua,
paradigma logis yaitu pengetahuan dengan objek yang abstrak seperti filsafat;
dan ketiga, paradigma mistik yang diperoleh dengan rasa.[34]
Selama ini pondok pesantren hanya
membekali santri paradigma yang pertama dan ketiga. Sementara paradigma yang
kedua kurang tersentuh. Untuk itu, pondok pesantren masa kini idealnya harus
memasukkan paradigma yang kedua, yaitu paradigma logis, agar semua pengetahuan
dapat dibekalkan kepada seluruh peserta didik.
Meminjam
bahasa Daulay, ciri-ciri pesantren masa depan ada 3, yaitu: ledakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kompetitif, moral dan pluralisme.[35]
Pondok pesantren modern idealnya bersikap aktif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, menyuburkan daya saing, tetapi tetap mampu mempertahankan
pembinaan moral yang selama ini dianggap prestasi besar pondok pesantren. Kalau
konsep ini bisa dilakukan dengan baik, pesantren akan semakin tumbuh mengakar
kuat dan kredibilitasnya semakin naik di tengah-tengah masyarakat.
H. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diklasifikasikan
bahwa perkembangan pesantren di Indonesia telah mengalami empat periode, yaitu
periode pertumbuhan, periode revolusi, periode benteng ideologi, dan periode
media pembangunan umat Islam. Periode pertumbuhan ini dimulai sejak zaman Wali
Songo hingga pada masa penjajahan. Periode revolusi antara tahun 1959-1965.
Periode benteng ideologi antara tahun 1970-an dan 1980-an. Sedangkan periode
media pembangunan umat Islam dimulai tahun 1990-an hingga sekarang.
Dalam bentangan sejarah yang cukup panjang, tentu
pesantren telah banyak memberikan kontribusi bagi sistem pendidikan nasional di
Indonesia. Peranan di maksud, antara lain: menjadi inspirasi dalam perumusan
sistem pendidikan nasional, mencetak tokoh intelektual pendidikan, model
pendidikan karakter, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta:
LKIS, 2001.
Abu Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan,
dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed.) Taufik Abdullah, Jakarta:
Rajawali Press, 1983.
Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren di tengah
Arus Ideologi-ideologi Pendidikan, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.
Azyumardi Azra, Islam Substantif Agara Umat tidak Menjadi Buih,
Bandung: Mizan, 2000.
Haedari Amin, Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II, no. 1 Juli
2007
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999.
http://telusuri-web.blogspot.com/2011_04_01_archive.html, diakses tgl. 28 Oktober 2011
Imam Sarkowi, Pembaharuan Pemikiran Pesantren, dalam http://saintek.uin-malang.ac.id/index.php/artikel-1/460-pembaharuan-pemikiran-pesantren.html, diakses tgl. 28 Oktober 2011.
Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bina
Aksara, 1995.
M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M,
1986.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1988.
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005.
Tanaya Yuka, Proses Masuknya Islam di Indonesia (Nusantara), http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/, diakses tgl. 28 Oktober 2011
Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 1995.
[1] Haedari Amin, Jurnal Pondok
Pesantren Mihrab, vol. II, no. 1 Juli 2007, hlm. 34.
[2] Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta:
LP3S, 1995), hlm. 18. Lihat dalam Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren:
Pendidikan Alternatif Masa Depan (cet. II; Jakarta: Gema Insani Press,
2000), hlm. 70. Lihat juga dalam Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan
Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 98-99.
[3] Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan,
Cet. III, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 287.
[5] Abu
Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan,
dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed.) Taufik Abdullah, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), hlm. 328.
[6] Amir Hamzah Wiryosukarto, et.al., Biografi KH. Imam
Zarkasih dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press,
1996), hlm. 51.
[7] Mastuhu, Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 6.
[8] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai
Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2001), cet. ke-1, hlm.17.
[9] Azyumardi Azra, Islam Substantif Agara Umat tidak
Menjadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), Cetakan I (Azra, 2001:70). Lihat juga
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Mizan,
Bandung, 1995), hlm. 17.
[10] Kitab Islam klasik disebut kitab kuning, karena
lembaran atau kertas yang digunakan dalam kitab tersebut berwarna kuning, dan
pada umumnya tulisan arab yang ada di dalamnya tidak diberi syakal atau
harakat. Kitab seperti ini biasanya juga disebut tulisan arab gundul.
[13] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 49 dan 144.
[15] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam
dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal 240.
[16] Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren…, hlm. 52.
[21] Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, hlm. 51.
[22]Lihat Ronald Lukens-Bull, Teaching Morality:
Javanese Islamic Education in a Globalizing Era, (Journal of Arabic and
Islamic Studies, Vol. 3, 2000), hlm. 48.
[23] Ismail SM
dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 55.
[24] M.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bina Aksara,
1995), cet. ke-3, hlm. 248.
[25] Lihat didalam Tanaya Yuka, Proses Masuknya Islam di
Indonesia (Nusantara),
[26] Lebih lengkap lihat Mujamil Qomar, Pesantren dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga,
2005), hlm. 24.
[27] Mujamil Qomar, Pesantren dari
Transformasi…, hlm. 13.
[29] Lihat
lengkapnya dalam M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal;
Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 90-102.
[30] Imam
Sarkowi, Pembaharuan Pemikiran Pesantren, dalam http://saintek.uin-malang.ac.id/index.php/artikel-1/460-pembaharuan-pemikiran-pesantren.html, diakses tgl. 13 April 2013.
[32] Haidar
Putra Daulay, pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2004) hlm 35
[33] Suyatno. Matahari:
Jurnal Penelitian dan Pendidikan (Jakarta:PPs Uhamka, 2007). Hlm 48
[34] Tafsir, ilmu
Pendidikan, hal 204
[35] Daulay, pendidikan,
hal 137
0 komentar:
Posting Komentar