Selasa, 19 April 2011

Film "TANDA TANYA" Dipertanyakan ?

“… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”


Satu kesimpulan yang cukup indah, dilontarkan oleh Rika (salah seorang pemain yang berkarakter murtad) dalam suatu novel tentang ketuhanan ini, menjadikan saya cukup berfikir apa sebenarnya pluralisme subuah keagamaan itu? Apakah batas-batasanya? Dan bagamana pengapilkasiannya?



Hari rabo, 13 April 2011. Saya bersama teman-teman kelas PAI ICP sedikit merefres pikiran kita sembari nobar di sebuah bioskop kenamaan di malang. Sejak awal saya berangkat sebenarnya pikiran saya sudah tertuju pada sebuah kesimpulan bahwa film pluralisme yang berjudul “?”(baca:tanda tanya) –yang di promosikan masih dalam pencarian judul dan yang bisa memberi judul yang pas dengan film itu akan mendapat kontribusi 100 juta- yang dijadikan sebagai Tugas Ujian Tengah Semester oleh Bpk. Barizi,MA ini sangat memojokkan islam.

Mungkin saya adalah orang pertama yang tidak setuju dengan kelahiran film ini, Kesan umum yang ditampilkan film besutan sutradara Hanung Bramantyo dari awal sampai akhir adalah fakta yang disodorkan kepada penonton bahwa Islam dus umatnya adalah agama yang kasar, penuh dengan sikap picik dan kebodohan, intoleran, eksklusif, rasis, suka anarkis dan bahkan menebar terror!. sangat berbalik dengan penggambaran agama dan etnis tertentu disana, mereka diangkat setinggi-tingginya seakan-akan mereka tidak pernah salah, mereka digambarkan sebagai penuh kesantunan, kesabaran, pengertian, penuh kasih, toleran dan sering (tentu saja) jadi korban kekerasan umat Islam.

Pada adegan pembukaan saja, yang berupa penusukan terhadap seorang pastur saat akan acara kebaktian didepan gereja sudah mengindikasikan bahwa islam adalah otak dari kejadian ini. Meskipun disitu ditampilkan sebuah adegan pemberitaan media elektronik yang mengutip pernyataan penjabat (dalam hal ini, wali kota semarang) bahwa insiden itu tidak ada kaitanya dengan masalah agama, artinya bahwa kejadian itu adalah murni kriminal. Tanpa ada klarifikasi pengadilan. Namun, siapapun akan mudah berkesimpulan bahwa tuduhan itu diarahkan kepada muslim apalagi itu dilakukan di Negara mayoritas beragama Islam. Kesan ini sudah jadi rahasia umum.

Sebenarnya misi yang diemban dalam film ini sangatlah berat yakni bagaimana toleransi beragama di negara kita ini bisa saling mengisi, bukan malah dijadikan sebagai kambing hitam sebuah tujuan politik atau bahkan sebuah bisnis pribadi. Tapi sayangnya malah menjadi paradoks yang sangat parah. Dengan penggambaran buruk alias stereotipikal terhadap umat Islam, dan tak ketinggalan pula pendiskreditan atas beberapa ajarannya.

Satu contoh kecil yang mungkin tidak kita sadari, saat akan pementasan drama penyaliban yesus kristus, dimana peran utama sebagai yesus adalah orang islam yang tidak disetujui oleh salah satu dari mereka, tapi kemudian datang Romo katolik yang membela peran tersebut dan meyakinkan jemaat yang protes. “Tak pernah ada dalam sejarah, kehancuran iman disebabkan pementasan drama, tapi hanya kebodohan lah yang jadi penyebab kehancuran iman”, tukas Sang Romo. Bandingkan dengan sikap umat muslim yang digambarkan penuh kebencian dan intoleran terhadap penganut agama lain, seperti tindakan penusukan dan pengiriman paket bom Natal di dalam gereja saat misa malam Natal.

Yang kedua, pada penggambaran sosok ustad pemuka agama yang inklusif – pluralis dan bahkan mendukung aksi Suryo yang memerankan Yesus Kristus dalam drama penyaliban itu. Tampak, pesan yang ingin disampaikan adalah selayaknya tokoh muslim harus meniru sikap dan pandangan ustad yang inklusif dan toleran itu.ditambah sikap dingin sang ustadz saat melihat surya memeragakan peran yesus, yan ironisnya itu dilakkan dalam masjid, yakni sebuah simbul agama kita (baca = islam) malah dikotori oleh kegiatan seperti itu. Apakah itu bukan termasuk pelecehan terhadap agama kita? Anda bisa menjawabnya sendiri.

Lain lagi dengan cerita yang disuguhkan pada adegan direstoran yang didalamnya disuguhkan dua masakan yang sangat berbeda yakni antara babi dan ayam, dimana pramusajinya notabennya adalah orang muslim. Mereka diberi waktu luang untuk melaksanakan shalat, dalam kondisi tertentu bahkan sempat mengingatkan agar jangan sampai telat sholat. Selain itu meski mereka tetep membuka restoran mereka pada saat bulan ramadhan yang dianggap suci oleh orang islam, mereka tetap mengharai bulan itu dengan menutup restoran mereka dengan tirai, meski berakibat pada sepinya pengunjung yang akan datang kesana. Disitu rasa toleransi yang mereka tampakkan sangat kental. Ditambah pemberian hari libur bagi pramusajinya sampai H-5, yang jarang kita jumpai sekarang untuk hari libur sekelas restoran.

Suasana berbalik ketika rostoran dipegang oleh anaknya. Hendra, karena tidak terima dengan kebijakan yang dibuat ayahnya dengan membuka tirai-tirai yang menutupi restorannya dan membuka restoran tepat setelah sholat Id dilaksanakan. Keadaan ini yang akhirnya menggambarkan ke anarkisan agama kita dengan backround para BANSER NU yang meneriakkan suara takbir, serta yel-yel islami dilengkapi dengan beberapa senjata yang berujun pada pengerusakkan restoran itu. Di situ jelas tergambar, etnis tertentu ditampilkan sebagai korban kekerasan padahal mereka toleran dan damai, dan lagi-lagi umat Islam jadi kambing hitam yang tertuduh!

Sampai disini, coba kita tela’ah dimana letak kedamaian islam? Semua adegan menggambarkan ke anarkisan agama kita, seolah-olah bahwa kita yang selalu menjadi penyebabnya. Kalaupun ada mungkin hanya satu, yakni pada adegan penyelamatan bom yang dilakukan oleh soleh saat para jemaat melangsungkan ibadahnya disebuah gereja yang sedang ia jaga. Tapi sayangnya pada kejadian itu tergambar seolah-olah soleh malah buhuh diri –yang dalam islam sangat tidak dianjurkan- dengan mendekap bom yang ia bawa. Mengapa tidak dilempar saja?

Syari’at kita dilecehkan !!

Sejenak kita takhrij ke belakang, secara vulgar adegan dan kalimat di film itu juga terselip kampanye pro babi, jenis hewan yang diharamkan mengkonsumsinya oleh Al-Qur’an bagi umat Islam. Dalam ungkapan Tan Kat Sen, dinyatakan “…kalo masak babi lu gak perlu pake bumbu banyak-banyak, karena dagingnya udah gurih. Beda sama ayam, daging sapi, atau cumi, kamu harus royal sama bumbu supaya enak..!” disitu terselip upaya olok-olok terhadap syariat Islam yang mengharamkan babi tanpa alasan jelas, padahal rasanya gurih dan lezat.
Bukan sekedar itu, film ini dengan berbagai sorotan vulgarnya juga hendak menggiring opini penonton muslim agar mengakrabi babi dan tidak perlu menjauhinya, apalagi menganggapnya menjijikkan. Apakah artinya ini jika bukan memperolok-olok standar dan jenis makanan yang halal dan haram dalam pandangan Islam?

Bukan itu saja, syariat Islam yang melarang perkawinan campur (beda) agama, terutama untuk muslimah kawin dengan pria non-muslim, disinggung juga dalam film itu secara halus sekali. Sehingga bagi penonton yang tidak jeli dan peka terhadap setiap kalimat di adegan-adegan film itu tak akan merasakan kejanggalan tersebut.

Pelecehan dan olok-olok terhadap syariat Islam itu tersingkap dari ungkapan curhat Hendra, putra Tan Kat Sun, yang sempat menjalin hubungan asmara dengan Menuk. Saat itu, Hendra yang curhat kepada mamanya, menyesalkan sikap Menuk yang lebih memilih Soleh, lelaki yang seagama dengan Menuk hanya karena alasan iman. Ia bertutur begini: “…(saya kecewa) bayangkan mi, si Menuk lebih memilih lelaki lain dan bukan aku hanya karena lelaki itu konon taat beragama (seagama)..”, yang saya tangkap adalah karena seagama seakidah.

Sikap Menuk ini tentu saja telah sesuai dengan tuntunan syariat Islam yang melarang muslimah menikah dengan lelaki non-muslim. Soal ini Al-Qur’an telah dengan gamblang menjelaskan hukumnya dalam dua ayat yaitu Q.s. Al-Baqarah: 221 dan Al-Mumtahinah: 10. Juga diperkuatlagi oleh Ijma’ para ulama dari seluruh mazhab dalam Islam. Sikap tegas syariat Islam yang melarang perempuan muslimah kawin dengan non-muslim ini lah yang kerap jadi bulan-bulanan kaum liberal.

Mereka pun menuding aturan semacam itu intoleran terhadap agama lain dan juga bertentangan dengan HAM yang menjamin seseorang untuk menjalin hubungan dan menikah dengan orang yang dicintainya tanpa sekat agama dan etnis. Naifnya, film ini ikut termakan bualan dan ejekan kaum liberal yang suka mempersoalkan ajaran syariah yang sudah baku dan permanen.

Ada lagi, dalam kisah flash back Rika digambarkan bahwa ia kecewa terhadap aturan Islam yang melegalkan praktek poligami. Saat suaminya bersikeras ingin berpoligami, Rika menolaknya dan bahkan lebih memilih cerai dari suaminya yang tetap ingin mempertahankan Rika sebagai istri namun dimadu. Selain itu ada kesan bahwa alasan syariat inilah yang memicu Rika menukar agamanya menjadi Katolik.

Penilaian saya itu cukup beralasan, sebab sejauh yang saya amati tidak ada alur kisah lain di luar hikayat poligami itu yang melatari perpindahan agama Rika. Saya berusaha mencari-cari kemungkinan ada kisah lain yang ditampilkan sutradara untuk melatari penyebab ia murtad dari Islam. Namun usaha saya sia-sia, sebab satu-satunya tayangan flash back hanyalah kisah poligami suaminya yang ia tolak.

Olok-olok terhadap syariat poligami dalam Islam dimunculkan secara tersirat, apalagi dalam Katolik (agama baru yang dipilih Rika), poligami dilarang. Sehingga ia merasa nyaman dengan ajaran itu dan (mungkin) karena sebab itu lah ia murtad dari Islam dan memilih Katolik. Sebab dalam Kristen, secara umum, pernikahan harus ‘monogami’ karena doktrin Bible yang menyatakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam).

Oleh sebab itu jangankan poligami, perceraian pun diharamkan dalam Kristen karena konsep pernikahan mereka adalah hanya satu istri/suami dan untuk selamanya. Berbeda dengan konsepsi Islam yang membolehkan poligami sesuai ketentuan dan syarat yang berlaku, dan juga menghalalkan talak/cerai yang diungkapkan Rasulullah sebagai “tindakan halal yang paling dibenci oleh Allah”.

Kesimpulan

dengan kenyataan yang ada ini, saya cenderung menyimpulkan bahwa film ini sangat tidak pantas dipublikasikan, yang ada bukan malah keindahan dalam pluralisme tapi propaganda dan kampanye pluralisme yang sangat kental. Seperti pemurtadan yang di anggap sepele dalam film ini bahkan malah dianggapap “telah mengambil langkah besar dalam hidup”, atau dikesankan “berubah untuk menjadi yang lebih baik”, Soal kemurtadan, beberapa ayat al-Quran menyebutkan bahaya dan resikonya dunia – akhirat bagi seorang Muslim.

... Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqaroh : 217)

Tak hanya itu, Islam dus umatnya dikambing hitamkan sebagai agama yang kasar, penuh dengan sikap picik dan kebodohan, intoleran, eksklusif, rasis, suka anarkis dan bahkan menebar terror!. sangat berbalik dengan penggambaran agama dan etnis tertentu disana. Tidak ada toleransi yang sebenarnya, pesan pluralisme justru malah kabur tidak seperti yang diharapkan.
Akhirnya, ini hanya sebuah curhatan saya, toh kalaupun ada yang kurang pantas dibaca saya pribadi mohon maaf dengan kerendahan hati saya. Wallohulmuwaffiq ila aqwamit thoriq.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More