Minggu, 17 April 2011

Konsepsi Akal Dan Wahyu

KONSEPSI AKAL DAN WAHYU


Dua hal di atas adalah bekal pokok dalam mendalami masalah seputar ketuhanan dan perilaku manusia sebagai makhluk yang beradab dan berkeyakinan. Akal merupakan perangkat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Meskipun Malaikat diberi akal oleh Tuhan, namun derajatnya masih di bawah manusia, jika manusia dapat menggunakan akalnya sesuai dengan ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika manusia menduduki derajat tertinggi di sisi Tuhan. Menurut al-Jurjani (w. 793 H), akal merupakan perangkat yang berdiri sendiri dari susunan organ tubuh, namun menjadi kreator penggerak dan operator organ lain[1]. Ada yang mengatakan akal merupakan cahaya dalam hati yang berfungsi untuk memilah antara baik dan buruk. Dari dua pengertian ini, dapat diambil konglusi bahwa terlepas dari bentuk wujudnya, peran akal memang sangatlah penting bagi perjalanan kehidupan manusia.

edangkan wahyu adalah informasi yang diberikan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam, tentang yang dikehendaki-Nya, baik berupa perintah dan larangan syara’ ataupun berita sepanjang masa. Ada tiga cara Tuhan dalam penyampaian wahyu ini; melalui ilham, belakang hijab, dan perantara Malaikat. Wahyu ini terkhusus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam. Hal inilah yang membedakannya dengan ilham. Satu segi wahyu lebih spesifik daripada ilham, karena hanya disampaikan kepada para utusan-Nya. Namun dari segi lain sebaliknya, karena ilham hanya disampaikan dalam keadaan samar dan spontan.

Dalam ranah teologi yang memang berkisar seputar ketuhanan dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya, pasti akan menyinggung diskursus mengenai akal dan wahyu. Keduanya dianggap mempunyai andil dalam pengetahuan tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Akal sebagai daya nalar yang terdapat dalam diri manusia berusaha keras untuk dapat “mencapai” Tuhan[2]. Sedangkan wahyu diberikan sebagai informasi Tuhan melalui media yang dinamakan Rasul untuk diketahui dan dilakukan menurut kandungan informasi tersebut.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah seberapa besar potensi akal dan fungsi wahyu untuk dapat mengetahui dan menentukan sikap atas Tuhan. Dapat mengetahui Tuhan berarti manusia mengetahui bahwa Tuhan itu ada sebagai sang Pencipta yang kemudian muncul konsekwensi bahwa manusia wajib mengetahui Tuhan itu ada. Sedangkan menentukan sikap atas Tuhan berarti manusia harus mengetahui perihal baik dan buruk yang merupakan pilihan untuk dilaksanakan dan ditinggalkan sebagai wujud rasa terima kasih dan pengabdian kepada-Nya.

Perbedaaan porsi antara peran akal dan wahyu inilah yang menjadi tarik ulur di kalangan teolog Islam. Satu kalangan menyatakan bahwa peran akal yang paling dominan menanggapi hal-hal di atas. Sedangkan kalangan lain menyatakan sebaliknya. Namun demikian semua kalangan satu suara dalam memahami adanya Tuhan dapat dijangkau akal manusia tanpa bantuan wahyu. Hal ini terbukti pada kisah nabi Ibrahim A.S yang berusaha dengan akalnya untuk mencari tahu siapa Tuhan yang sebenarnya. Sebelum berpikir seperti ini, pasti Nabi Ibrahim A.S mengetahui dan yakin dengan adanya Tuhan yang menciptakannya hanya dengan akalnya. Mungkin juga awal proses pemikiran tersebut berasal dari kondisi religius pada saat itu, dimana mayoritas masyarakatnya menyembah berhala, sehingga menimbulkan gejolak keraguan dalam pikiran dan jiwanya. Akhirnya dimulailah pengembaraan dalam akalnya untuk mengetahui Tuhan yang sebenarnya. Dan jelaslah proses ini sama sekali tidak memerlukan bantuan wahyu.

Selanjutnya, apakah perbuatan baik dan buruk cukup dijangkau akal saja sehingga sesuatu yang menurut akal baik atau buruk, manusia harus mengambil sikap dengan melaksanakan dan meninggalkannya, meskipun belum terdapat ketentuan syara’ yang menjustifikasi sesuatu itu? Dan jika manusia dituntut demikian, akankah mendapatkan imbalan atau siksaan sebagai balasan terhadap perbuatannya sebelum turun wahyu atasnya? Ataukah tidak ada jalan lain selain menunggu pertolongan wahyu, dan dengan demikian sesuatu yang diperintahkan syara’ adalah baik dan yang dilarangnya adalah buruk, serta tidak ada balasan apapun sebelum adanya utusan? Serta yang terpenting, kewajiban mengetahui Tuhan cukup dengan nalar logika ataukah juga dengan bantuan wahyu? Sederet jawaban atas beberapa pertanyaan di atas yang diperbincangkan kalangan teolog Islam sebagai dampak tarik ulur dua hal yang mendasar yang menjadi sumbernya, yaitu akal manusia dan wahyu Tuhan.

Mengenai kewajiban mengetahui Tuhan, menurut Mu’tazilah[1] dapat diperoleh dengan penalaran yang mendalam. Jika demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum adanya utusan adalah wajib. Dan jika manusia tidak berterima kasih kepada-Nya, maka akan mendapat hukuman[2]. Konsep dasar pendapat ini sebagaimana dipaparkan Abdul Jabbar, bahwa kewajiban pertama manusia berpikir untuk mencapai pengetahuan tentang adanya Tuhan, karena keberadaan Tuhan itu tidak dapat diketahui dengan penglihatan nyata, melainkan dengan jalan berpikir dan bernalar[3]. Bahkan al-Murdar (w. 226 H)[4], salah satu pakar Mu’tazilah menyatakan bahwa termasuk yang dapat dinalar akal adalah

kewajiban mengetahui sifat-sifat dan hukum-hukum Tuhan, meskipun belum ada wahyu mengenai hal itu.

Paham yang sama juga dianut sebagian kalangan Maturidiyyah[1], yaitu mereka yang menetap di Samarkand. Mereka memaparkan akal dapat menjangkau kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Agaknya, al-Maturidi juga berkeyakinan seperti itu. Menurutnya, akal seorang anak yang telah mencapai kematangan wajib mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan tanpa menunggu adanya wahyu. Oleh karena itu, jika dia mati sebelum mengetahui Tuhan, maka akan mendapatkan siksaan[2]. Namun di luar itu, kalangan Maturidiyyah Bukhara[3] berpendapat sebaliknya. Kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya hanya dapat diketahui melalui wahyu. Bagi mereka, akal hanya alat untuk mengetahui hukum. Dan yang menentukan hukum segala sesuatu adalah Tuhan, termasuk hukum wajib mengetahui-Nya, karena Dia bertindak sebagai al-Hakim bagi makhluk-Nya. Sedangkan proses penentuan suatu hukum dari Tuhan hanya dapat diraba melalui wahyu.

Agaknya paham Maturidiyyah Bukhara ini sesuai dengan satu segi dari tindakan Nabi Muhammad SAW. Dalam memutuskan perkara yang belum ada kejelasan hukum sebelumnya, beliau memilih diam tanpa memberi komentar atas perkara itu. Diam yang dilakukan Nabi SAW ini semata hanya menunggu datangnya Jibril A.S yang membawa wahyu terkait dengan perkara yang sedang dihadapi. Jika saja akal dapat menentukan kejelasan hukum itu, niscaya akal Nabi SAW lebih berhak dan lebih mampu untuk melakukannya. Namun, tidak demikian yang dilakukan beliau. Artinya, ada satu titik temu antara tindakan Nabi SAW dan paham Maturidiyyah Bukhara di atas, yaitu hanya wahyu yang dapat menentukan kejelasan hukum suatu masalah, bukanlah akal yang hanya berfungsi sebagai pencerna hukum yang diusung wahyu. Jika akal dipaksa untuk menelurkan suatu hukum, maka tidak akan mampu karena bukan kapasitasnya untuk itu. Satu-satunya pembuat hukum adalah Tuhan, dan disampaikan manusia melalui wahyu.

Asya’irah[4] juga mengatakan demikian. Mereka tidak sepaham dengan Mu’tazilah ataupu Maturidiyyah Smarkand. Al-Asy’ari sendiri berpendapat bahwa kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu tidak ada kewajiban ataupun larangan bagi manusia, karena status mereka bukanlah mukallaf. Dan jika ada seseorang yang dapat mengetahuinya sebelum wahyu ada, maka orang tersebut berstatus mukmin, namun tidak berhak mendapatkan imbalan Tuhan. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tidak beriman sebelum adanya wahyu, maka orang tersebut belum tentu mendapatkan siksaan. Hal ini semata-mata Tuhan berkuasa mutlak atas selain-Nya, sehingga tidak ada yang dapat mengatur dan mengekang-Nya.

Perihal baik dan buruk juga mendapat sorotan tajam dari ketiga kalangan teolog ini. Dalam satu segi mereka memaparkan kesepakatan. Namun dalam segi lainnya, mereka mempertentangkannya. Mereka sepaham bahwa akal dapat memilah antara baik dan buruk dalam dua hal. Pertama, sesuatu dianggap baik jika sesuai dengan watak manusiawi, seperti: rasa manis, suara yang merdu, rupawan, sehat, dan hal-hal lain yang dapat membuat perasaan menjadi bahagia. Sebaliknya, dikatakan buruk jika tidak sesuai dengan watak, seperti: rasa pahit, muka jelek, sakit, suara gaduh, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu ketenangan dan kesenangan jiwa. Kedua, baik adalah segala hal yang dikaitkan dan dilekatkan kepada sifat kamaliyyah, seperti pandai dan jujur. Sedangkan buruk adalah hal yang bersandar pada sifat cacat dan kurang, seperti bodoh dan pendusta[1].

Adapun pangkal perbedaan berawal dari pengertian baik adalah segala sesuatu yang menuai pujian bagi pelakunya di dunia dan mendapatkan imbalan di akhirat. Dan buruk adalah segala sesuatu yang menyebabkan pelakunya dicela di dunia dan disiksa di akhirat kelak[2]. Dari sini timbul silang pendapat. Apakah akal mampu menalar baik dan buruk sesuai dengan pengertian ini? Ataukah wahyu yang berperan penting dan dominan dalam hal ini?

Menurut Asya’irah, perihal baik dan buruk hanya dapat ditentukan oleh syara’ sehingga segala sesuatu yang diperintahkannya pasti baik. Begitu juga segala hal yang dilarang syara’ dinyatakan buruk. Lebih lanjut, meskipun kemudian syara’ memerintahkan keburukan, maka keburukan itu tetap dinilai baik. Hal ini sebagaimana dilegalkannya qishash dan ‘uqubah. Artinya, meskipun mengandung unsur mafsadah, keduanya dinilai baik karena pada dasarnya mafsadah yang ditimbulkan hanya berskala kecil, dan tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya mafsadah yang berskala lebih besar, yakni tidak ada sanksi tegas bagi pembunuh yang akhirnya memberi peluang untuk mengulangi perbuatannya.

Ataupun jika syara’ melarang kebaikan, maka kebaikan itu tetap dinyatakan keburukan. Satu contoh kecil adalah larangan mengawini musyrik atau musyrikah. Bukankah perkawinan itu baik? Dengan perkawinan dapat memberikan keturunan. Dengan perkawinan pula dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama. Kedua hal itu termasuk sisi positif adanya perkawinan. Namun ternyata hal itu dilarang syara’ jika salah satu dari kedua mempelai berstatus syirik. Akhirnya perkawinan semacam inipun harus dianggap buruk, karena perkawinan ini ditengarai akan membawa madlarat bagi pelakunya. Oleh sebab itu syara’ menetapkan keburukannya.

Memang, mayoritas informasi syara’ hanya mencantumkan perintah dan larangan. Namun jika ditelaah lebih dalam, akan ditemukan dengan sendirinya bahwa segala hal yang diperintahkan itu berlabelkan baik. Begitu juga segala hal yang dilarang mempunyai label buruk. Karena tidaklah mungkin syara’ akan menyesatkan manusia.

Dan adanya informasi ini tidak lain bermula dari wahyu yang disampaikan kepada para Nabi –‘alaihim al-salam. Atas dasar inilah, Asya’irah berpendapat bahwa pemilahan baik ataupun buruk dan kewajiban melakukan kebaikan ataupun keburukan hanya didapatkan dari wahyu tanpa mengandalkan proses penalaran akal. Dan karena ini, jika wahyu belum turun atas manusia, maka dia tidak dituntut melakukan dan meninggalkan sesuatu, meskipun akalnya dapat memilah baik dan buruk. Karena sebagaimana di atas, bukan kapasitas akal untuk menentukan hukum-hukum Tuhan atas perbuatan manusia.

Menanggapi persoalan baik dan buruk, secara umum Maturidiyyah sepaham dengan Mu’tazilah yang menganggap keduanya dapat dijangkau akal. Artinya, tanpa menunggu turunnya wahyu, akal dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi suatu perbuatan sehingga dapat diketahui label perbuatan itu. Namun, apa yang disebut baik dan buruk menurut Maturidiyyah ini lebih luas daripada yang dipahami oleh Mu’tazilah. Menurut Maturidiyyah, terkadang baik dan buruk dapat dilihat dari hakikat dan inti perbuatan itu, terkadang dapat dilihat pula dari sifat dasarnya, ataupun dari faktor-faktor eksternal.

Hal itu menurut mereka sangatlah sederhana. Jika perbuatan itu baik, maka untuk dikerjakan. Dan jika perbuatan itu buruk, maka untuk ditinggalkan. Al-Maturidi memaparkan bahwa akal mengetahui sifat baik dalam yang baik dan mengetahui sifat buruk dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga memahami berbuat baik itu baik dan berbuat buruk itu buruk. Dan akal selanjutnya memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan[1]. Hal ini juga dipahami oleh Hanafiyyah[2].

Argumen yang ditampilkan Maturidiyyah untuk menguatkan pendapatnya adalah apabila baik dan buruk tidak dapat diketahui kecuali dengan syara’, maka pada hakikatnya antara shalat dan zina adalah sama. Oleh karena itu, jika dijustifikasi salah satunya sebagai kewajiban dan lainnya sebagai keharaman, maka hal tersebut tidak mendasar. Di samping itu, jika keduanya hanya bergantung pada wahyu, maka adanya utusan agama merupakan bencana bagi alam. Dengan kata lain, sesungguhnya sebelum adanya agama dan diutusnya para Nabi –‘alaihim al-salam, manusia dalam keadaan mutlak merdeka, karena tidak ada aturan yang mengikat. Mereka bisa berbuat sekehendak hati dan melarang perbuatan yang mereka benci. Merekapun tidak memikirkan imbalan <!--[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } -->
dan hukuman sebagai dampak perbuatan mereka. Kemudian utusan datang dengan membawa syari’at yang membatasi itu semua sehingga terbelah menjadi dua; halal dan haram, iman dan kufur, serta surga dan neraka. Maka sekali lagi, adanya tasyri’ ini dapat memberikan madlarat bagi mereka. Padahal ini tidak benar, karena adanya utusan merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata paham yang dipegang Maturidiyyah ini terbelah menjadi dua sebagaimana dalam memahami masalah ketuhanan di atas. Namun, redaksi yang digunakan Wahbah al-Zuhayli bukan Maturidiyyah Samarkand dan Bukhara, melainkan mutaqaddimu al-Maturidiyyah dan muta’akhiruhum[1]. Perbedaan yang ada adalah seputar belum atau sudah datangnya syara’ atas manusia dan konsekwensinya.
Mutaqaddimun menyatakan akal terkadang dapat meraba dan menentukan hukum-hukum Tuhan, seperti wajibnya iman dan haramnya kufur. Hal ini terlepas dari belum atau sudah sampainya wahyu. Bahkan, anak kecil yang telah berakal juga dapat melakukannya. Oleh karenanya, tanggung jawab seorang hamba tergantung kemampuan akalnya. Siapa saja yang tidak beriman, maka akan dihukum jika Tuhan tidak mengampuninya. Abu Hanifah berkata: “Tidak ada alasan bagi seseorang dalam ketidaktahuannya mengenai sang Pencipta, karena pada dasarnya akal dapat meraba bukti-bukti yang telah ada.” Maksudnya adalah setelah adanya perenungan yang mendalam. Karena akal sebagai pengganti dakwah Rasul dalam memperingatkan hati manusia. Dan lamanya perenungan ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya karena kemampuan akal yang berbeda-beda pula. Kalangan ini sejalan dengan Mu’tazilah mengenai penilaian terhadap segala hal yang tampak baik ataupun buruk. Akan tetapi, mereka tidak menyatakan manusia wajib diberi balasan sesuai perbuatannya sebelum adanya wahyu sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Karena bagaimanapun juga Tuhan tidak dapat dituntut mengenai hal itu. Kewenangan dan kekuasaan Tuhan sangat mutlak.
Sedangkan muta’akhirun mengatakan baik dan buruk dapat dijangkau akal, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Akan tetapi yang membedakannya dengan Mu’tazilah adalah baik dan buruk tidak sampai menyebabkan tuntutan hukum terhadap manusia. Karena sumber hukum hanyalah Tuhan. Segala sesuatu yang tidak dihukumi tidak ada hukum atasnya. Oleh karenanya, mereka mensyaratkan adanya dakwah dalam penentuan tuntutan terhadap manusia. Hal ini yang tidak dianut oleh Mu’tazilah ataupun mutaqaddimun[2].
Kalangan lainnya yang berpedoman terhadap potensi akal Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam membahas masalah baik dan buruk. Menurut mereka, tidak perlu bantuan wahyu dalam mengetahui baik dan buruk. Wahyu dengan muatan syara’ berfungsi sebagai penguat hukum yang telah diidentifikasi akal. Di samping itu, wahyu berfungsi untuk mengetahui tata cara beribadah kepada Tuhan, kadar imbalan dan hukuman Tuhan, juga untuk mengingatkan manusia jika mereka lalai.
Menurut pandangan Mu’tazilah, kemampuan akal untuk mengidentifikasi baik dan buruk terbagi menjadi tiga. Pertama, kemampuan tersebut bersifat pasti dan spontan, seperti baiknya jujur yang bermanfaat dan buruknya dusta yang membawa madlarat. Kedua, akal dapat memilah baik dan buruk setelah adanya proses penalaran panjang. Hal ini seperti adanya kerugian dalam kejujuran bagi sebagian orang, ataupun adanya manfaat dalam kedustaan bagi sebagian lainnya. Proses penalaran panjang dalam kedua masalah ini menunjukkan kepada manusia bahwa terkadang sesuatu yang pada dasarnya baik dapat berubah menjadi buruk sesuai dengan madlarat yang menimpa pelakunya. Ataupun sebaliknya, suatu yang dianggap buruk pada dasarnya dapat menjadi baik sesuai dengan mashlahah yang diterima pelakunya.
Ketiga, akal dapat mengidentifikasi baik dan buruk dengan optimal setelah adanya wahyu[1]. Jika saja wahyu tidak ada, maka akal tidak dapat mengidentifikasinya dengan jelas. Hal ini menurut mereka, wahyu hanya sebagai penguat dan penjelas terhadap sesuatu yang diterima akal dengan samar. Satu contoh, akal menyatakan shalat itu baik. Namun, akal tidak dapat menentukan tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat yang disebut baik itu. Sehingga datangnya wahyu hanya membantu apa yang telah dinyatakan akal sebelumnya, yaitu shalat itu baik. Adapun tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat akal tidak dapat menjangkaunya.
Mengenai esensi baik dan buruk, dalam tubuh Mu’tazilah terdapat perselisihan. Mutaqaddimu al-mu’tazilah beranggapan baik dan buruk dalam suatu perbuatan merupakan hakikat perbuatan itu sendiri. Timbulnya label baik dan buruk tidak disebabkan faktor eksternal sebagai akibatnya. Sehingga dengan pendapat ini, terjadi peluang kemungkinan bahwa meskipun akibat perbuatan itu buruk, tetap diyakini baik. Sedangkan menurut al-Jubba’iyyah[2], baik dan buruk itu ditentukan oleh sifat yang tidak berlawanan yang terdapat di dalamnya. Bahkan, sebagian kalangan Mu’tazilah lainnya beranggapan baik dan buruk bukanlah sifat ataupun hakikat perbuatan itu, melainkan dari faktor eksternal yang berbeda-beda menurut mashlahah yang diterima pelakunya[3]. Pendapat yang terakhir ini memungkinkan mengakomodir perbuatan yang pada dasarnya buruk dapat masuk ke dalamnya. Misalnya pencurian yang berdalih hasilnya diserahkan kepada fakir miskin. Perbuatan ini pada dasarnya buruk, namun jika dilihat akibatnya dapat dikategorikan baik.
<!--[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } -->
Dan pada akhirnya, Mu’tazilah mengerucutkan perselisihan di atas. Bahwa akal dapat menjangkau perbuatan baik dan buruk. Sehingga mereka meyakini menjaga mashlahah dan mafsadah itu wajib tanpa memerlukan bantuan wahyu pada awalnya. Adanya syara’ hanya untuk menguatkan sesuatu yang telah diketahui akal, baik pengetahuan tersebut didapat dengan spontanitas maupun melalui penalaran yang panjang. Adapun selain keduanya, peran wahyu sebagai wadah syara’ adalah membantu menampakkan makna yang samar yang terdapat dalam akal manusia.
Pemahaman yang terdapat pada Mu’tazilah selanjutnya mengenai kemampuan akal dalam mengidentifikasi hukum-hukum syara’. Apakah cukup akal yang dapat menentukannya? Dengan demikian, sekali lagi tidak menunggu adanya wahyu.
Mereka menjelaskan sesungguhnya sebelum adanya wahyu, manusia dituntut melakukan sesuatu yang menurut akalnya baik. Begitu juga meninggalkan sesuatu yang dinyatakan buruk oleh akal. Oleh sebab itu, Tuhan harus memberikan balasan yang sesuai dengan perbuatan tersebut. Jika melakukan keburukan, Tuhan harus memberikan siksa, yaitu neraka. Dan jika melakukan kebaikan, Tuhan pun harus memberikan imbalan di surga. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan Mu’tazilah seakan-akan membatasi wilayah kewenangan dan kekuasaan Tuhan. Karena menurut mereka Tuhan tidak adil jika tidak memberi balasan yang setimpal. Jika Tuhan tidak adil, maka sama saja Tuhan telah bersikap dhalim terhadap makhluk-Nya. Dan hal itu tidak mungkin terjadi. Oleh sebab itu Tuhan pasti membalas perbuatan itu dengan setimpal.
Dari berbagai paparan silang pendapat yang diajukan beberapa kalangan teologi di atas, mengerucut sekelumit kesimpulan. Kalangan Asya’irah mempunyai pemahaman baik dan buruk ditentukan oleh syara’ dengan perantara wahyu sehingga jika belum ada utusan penerima wahyu tersebut, maka tidak ada taklif bagi manusia. Dengan demikian, tidak ada balasan bagi perbuatan mereka di akhirat. Hal ini diserahkan Tuhan dalam menghukuminya.
Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat sebaliknya. Bahwa baik dan buruk hanya bertumpu pada akal, tidak memerlukan wahyu untuk menilainya. Potensi akal menurut mereka sangat besar. Meskipun mereka sebenarnya juga memerlukan wahyu dalam beberapa hal karena akal tidak mampu mengembangkannya, namun mereka berdalih akallah pemeran utama di dalamnya. Sebab sebelum adanya wahyu, akal telah dapat menemukannya secara samar. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus terdapat konsekwensinya di akhirat. Dengan demikian, Tuhan pasti memberi siksaan dan imbalan bagi pelaku perbuatan sesuai dengan kriteria yang digariskan akal.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari paparan Matuidiyyah terpecah menjadi dua. Mutaqaddimun menyatakan baik dan buruk terjangkau oleh akal tanpa mengandalkan wahyu. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi dalam pendapat ini adalah Tuhan tidak dapat dituntut sebagaimana paparan Mu’tazilah. Artinya, memang benar ketentuannya seperti itu, namun tidaklah suatu keharusan atas Tuhan memberikan konsekwensi yang setimpal. Tuhan boleh saja menyiksa orang yang berbuat baik. Begitu juga sebaliknya. Mereka masih membatasi pendapat dengan kewenangan dan kekuasaan Tuhan.
Sedangkan menurut muta’akhirun secara sekilas menyatakan hal yang sama dengan para pendahulunya, yaitu baik dan buruk sesuai dengan kriteria akal. Namun, otoritas akal hnya sampai di sini. Untuk menghukumi sesuatu, akal tidak mungkin mampu. Sehingga baik dan buruk tidak dapat menentukan tuntutan hukum atas manusia. Oleh karena itu, adanya wahyu merupakan syarat mutlak bagi adanya tuntutan hukum. Dengan demikian, pendapat ini lebih dekat dengan pendapat Asya’irah.
Mengenai kewajiban mengetahui Tuhan, Asya’irah tetap berkeyakinan terhadap adanya wahyu untuk mengetahuinya. Karena mereka beranggapan Tuhan adalah sumber dari segala sumber hukum. Dan informasi Tuhan tersebut dapat terjangkau oleh manusia hanya melalui wahyu. Begitu juga pendapat yang diutarakan Matuidiyyah Bukhara. Adapun menurut Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand, secara akal manusia wajib mengetahui Tuhan. Alasannya, hanya dengan logika saja sudah menjadi keharusan atas manusia sebagai makhluk untuk mengetahui Tuhan sebagai sang Pencipta. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Nb : footnote dimulai dari bawah (af1 mash dalam taha belajar)


[1] Ibid., hal. 122.
[2] Kalangan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Abdu al-Wahab al-Jubba’i (w. 205 H). Beliau merupakan guru Abu al-Hasan al-Asy’ari sebelum meninggalkan Mu’tazilah.
[3] Ibid.

[1] Wahbah al-Zuhayli, op.cit., hal. 123.
[2] Ibid., hal. 124.

[1] Al-Maturidi dalam Harun Nasution, op.cit., hal. 91.
[2] Abu Manshur al-Maturidi merupakan salah satu pengikut Abu Hanifah (w. 150 H), sehingga paham-paham dalam teologi-nya banyak persamaan dengannya.

[1] Al-Ghazali dan al-Amidi dalam Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus; Dar al-Fikr, 2006, vol. I, hal. 120.
[2] Ibid.

[1] Pengikut Abu Manshur Muhammad ibn Mhammad ibn Mahmud al-Maturidi (w. 333 H).
[2] Abu ‘Uzbah dalam ibid.,hal. 89.
[3] Kalangan ini dipelopori oleh Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi (w. 394 H).
[4] Pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari, (w. 324 H).

[1] Pengikut Washil ibn ‘Atho’ (w. 131 H) dan ‘Amr ibn ‘Ubaid (w. 144H).
[2] Abu al-Huzail (w. 235 H) dalam ibid., hal. 82.
[3] Abdul Jabbar dalam Aminullah el-Hadi, Ibn Rusyd Membela Tuhan, Surabaya; LPAM, 2004, hal. 87.
[4] Al-Murdar dalam Harun Nasotion, op.cit., hal. 83.

[1] Al-Syarif Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Sankapura; Al-Haramain, 2000, hal. 148.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta; UI Press, 2008, hal. 81.


<!--[if !mso]> %-->

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More