1. Al Ghozali
- Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Disebuah desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, bagian dari kota Tus wilayah Khurasan (Iran). Orang tuanya bekerja sebagai pemintal wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzal. Adapun penisbatan nama al Ghazali terdapat dua pendapat yakni al Ghazali dengan memakai satu z dinisbatkan peda tempat kelahirannya, sedangkan al Gazzali dengan dua z dinisbatkan pada pada tempat pekerjaannya sebagai pemintal wol Ghazzal.[1]
Diluar itu semua beliau menyatakan bahwa sasaran pendidikan menurut Al Ghazali telah dilukiskan sejalan dengan pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, artinya sejalan dengan filsafatnya, yang menggabungkan antara potensi sukma dhulani dan sukma dzahiri.
Diluar itu semua beliau menyatakan bahwa sasaran pendidikan menurut Al Ghazali telah dilukiskan sejalan dengan pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, artinya sejalan dengan filsafatnya, yang menggabungkan antara potensi sukma dhulani dan sukma dzahiri.
Imam Ghazali tergolong ulama yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah, taat menjalankan agama dan menghiasi dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainyan, namun akhirnya ia lebih tertarik pada Fiqih dan Tasawuf.
- Konsep Pendidikan
Ada dua alat pokok yang dapat digunakan untuk mencapai setiap sasaran pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai pelajar atau dengan kata lain kurikulum pelajaran yang harus dipelajarinya. Kedua, metode penyajian mata pelajaran atau materi kurikulum.
Al Ghazali menjelaskan bahwa akhlak berakar pada dua pengertian, khalq dan khuluq. Khalq merupakan bentuk basyariah, eksternal (materi manusia), yang dalam penciptaannya terpaksa. Sementara khuluq (akhlak), bagian internal manusia adalah aspek yang dapat diatur dalam penciptaannya. Layaknya khalq (bentuk eksternal) yang sempurna kalau semuanya baik -- misalnya wajah cantik kalau semua anggota wajahnya sempurna -- bentuk internal juga demikian.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia.
Menurtnya , puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah SWT, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak.
Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang 'menganggurkannya' akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah. Maka dari itu beliau memaparkan bahwa tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu:
1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al Ghazali menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya, kebahagiaan yang lebih mempunyai nilai universal , abadi dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan , sehingga pad aakhirnya tujuan ini akan menyatu dengan tujuan yang pertama.
Dalam buku Abudin Nata juga dijelaskan beberapa konsep pendidikan imam ghozali seperti :
1) Tujuan Pendidikan[2]
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Tujuan akhir pendidikan menurut Al Ghazali adalah:
· Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah
· Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan duni dan akhirat.
Menurut Al Ghazali, setiap manusia pasti menginginkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kebahagiaan dapat tercapai dengan ilmu dan amal.
2) Kurikulum
Dalam pandangan Al Ghazali, ilmu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
a) Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan).
b) Ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya.
Bagi Al Ghazali, ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang wajib kifayah adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu ilmu kedokteran dan ilmu hitung.
c) Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dapat menyebabkan kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kepada kekafiran seperti ilmu filsafat.
Al Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Kurikulum Al Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
Ø Kecenderungan agama dan tasawuf
Ø Kecenderungan pragmatis, yaitu setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah. Hal ini terlihat dalam ungkapannya sebagai berikut:
“Seluruh manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal, dan seluruh orang yang beramal akan binasa kecuali orang yang ikhlas.”
3) Metode Pengajaran
Metode pengajaran Al Ghazali yaitu metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4) Kriteria Guru yang Baik
Menurutnya, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus yaitu:
a) Mempunyai rasa kasih sayang
b) Guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya dalam mengajar, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang.
c) Guru sebagai penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya.
d) Guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus, tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian, dan sebagainya.
e) Guru sebagai teladan dan panutan yang baik
f) Mempunyai prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang muridnya.
g) Dapat memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya
h) Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya untuk merealisasikannya.
Dari kesemua sifat guru tersebut, sampai sekarang masih sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
5) Sifat Murid yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, maka belajar
termasuk ibadah. Ciri-ciri murid yang baik adalah:
Ø Berjiwa bersih
Ø Menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dan kemewahan duniawi, karena keterikatan dengan dunia dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
Ø Bersikap rendah hati atau tawadhu’
Ø Hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib
Ø Mempelajari ilmu secara bertahap
Ø Mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya, yaitu jika ilmu agama kedudukan nilainya lebih mulia dari pada ilmu umum karena agama bersifat abadi.
Bukan hanya itu sesuai dengan tujuannya Al Ghazali telah menuliskan beberapa konsep yang telah disusunnya pula. Seperti Al Zarnuji, Al Ghazali menuliskan konsep yang berkenaan dengan kode etik sebagai seorang penuntut ilmu. Beliau merumuskan sebelas pokok kode etik anak didik yaitu:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqorrub kepada Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk selalu menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (Q.S. 6:162, 51:56)
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan dengan ukhrawi (Q.S. 93:4)
3. Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4. menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai dari pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sulit (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu ‘Ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (Q.S. 84:19).
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum masuk ilmu duniawi
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasihat nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti prosedur dan metode madzhab lain yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi anak didik untuk mengikuti kesenian yang baik. Dari pernyataan diatas telah dapat disimpulkan bahwa memang konsep yang disusun oleh tokoh-tokoh klasik adalah bertujuan untuk mengembalikan nilai-nilai moral yang telah banyak terkikis pada saat itu. Maka semua konsep pendidikan akal dan akhlak yang telah dituliskan oleh al Ghazali seperti yang telah disebutkan secara garis besar di atas dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbaikan akhlak yang dimaksud pada saat itu.
[1] Fathuyah hasan sulaiman, Sistem pendidikan versi Al Ghazali, Ter, Fathur rahman, Bandung: Al Ma’arif XI/1986, hlm 20
[2] Abudin nata, pemikiran oara tokoh pendidikan islam, PT. grafindo, Jakarta 1998, hlm : 86
[1] Abudin nata, pemikiran oara tokoh pendidikan islam, PT. grafindo, Jakarta 1998, hlm : 81
0 komentar:
Posting Komentar