Selasa, 07 Desember 2010

SVASTI, Perdamaian yang Berat

Kita bukan setan, bukan pula malaikat. Dari lahir kita sudah ditetapkan menjadi manusia dengan berbagai kekurangannya (pemakan segala, makhluq yang sering lupa, rajin membuat kesalahan, dan banyak lagi ).
Pada siklus ini, kemanusiaan kita diuji. Kita mencoba menyatukan identitas dalam satu nama. Nama itu diharapkan mampu menjadi ”identitas” alumnus 2009-2010 yang sanggup menjembatani kekurangan dan kelebihan. Alhasil nama ini punya sejarah sendiri.
1. Pramilad, Era konflik
Berawal dari masa kelas lima, di madrasah ini entah dari kapan, lahir tradisi unik untuk menamai generasinya.
Tiba pada kelas V periode 08-09, adat ini muncul seperti biasa dengan suguhan polling beberapa nama yang paling senter. Banyak bakuhantam yang ga’ jelas bermunculan.
Akhir dari yang terakhir, lahirlah Svasti bermakna perdamaian yang merupakan buah semedi dari warnet oleh kubu putra dan jelas sepenuhnya didukung habis-habisan oleh mereka. Dan dengan sangat menyesal, hal ini serempak ditolak oleh kubu putri dengan statement nama ini terlalu menyebabkan hujan lokal saat dilafadzkan.
”Kelasmu jenenge opo?, Svasti, Spasti, ve, ve, nggawe ve duduk pe, o, sevasti, g’ ngunu, g’ nggawe e, langsung svasti, angele talah, boso opo iku ?, dst”. Mungkin inilah gambaran kecilnya.

2. SVASTI born
Perdamaian yang aneh terlahir dari dua kubu tersebut, tepat tanggal 08 November 2008, kubu putri bersedia menerima Svasti sebagai nama generasinya demi terwujud perdamaian yang berdampak pada kemauan bekerjasama menjaga kebersihan kelas (rodok medongkol).
Kullu Syai’in yadurru ’ala biasa, walhasil hujan lokal yang ditakutkan dalam pengucapan Svasti, kini bukan dilema lagi, karena sekarang baik kubu putra atau putri telah fasih mengucapkan sin mati diiringi Fa’ fathah pada lafadh ”Svasti” walaupun harus sedikit berjihad mengatur bentuk mulut.

3. What a meaning of Svasti.......
Dinukil dari bahasa sansekerta yang artinya “perdamaian abadi”. Dalam kitab Fath al Wahhab, perdamaian diredaksikan dengan kata “as Sulhu”. Menariknya dalam kitab ini disebutkan, “Wa syartuhu (ay as sulhi) bilafdzihi sabqu khusumatin” yang kurang lebih artinya adalah “Syarat terjadinya perdamaian adalah didahului permusuhan”. (Semoga syarat ini sudah terpenuhi dan terlewati).

4. Blazzer
Keinginan untuk menemukan inovasi baru seolah telah menjadi naluri manusia yang hidup diera sekarang. Tak terkecuali bagi svasti.
Svasti maunya beda, termasuk urusan merchandise. Tradisi senior-senior svasti yang biasa membikin kaos, saat ini dilanggar. Singkat cerita, sepakalah anak-anak svasti untuk memesan blezer (kendati harus mengeluarkan korcek yang lebih dari pada sekedar kaos). Di luar dugaan, blazzer dibekuk pihak madrasah dengan berbagai alasan. Fakaifal haal?, alhamdulillah sebulan kemudian tahanan blazzer tersebut dinyatakan ”bebas” meski harus ada jaminan berupa tebusan dalam bentuk semua anggota svasti harus memiliki seragam batik yang layak pakai (bagaimanapun caanya).

5. Kita berdiri, Kita di sini
Kelas enam, kelas terakhir…………
Panitia Muwaadaah di bentuk. Nida Zakiyah dan Luthfi Ghozali (pasangan lama) menduduki kursi ketua umum pa & pi. Begitupula Panitia album, sowan-sowan, dan seragam ikut pula di pilih.
Banyak instruksi dari pihak Madrasah. Sebagai dampak kasus “BLAZZER”, yang intinya, semua dana pengeluaran akan di audit dan di awasi serta di minimalisir sebisa mungkin.
Segenap warga Svasti fokus dengan ujian. Beberapa yang gemar tidak masuk sekolah sedikit ada perkembangan positif

Other Moments, unforgetable……………………
Svasti mengharap seluruh warganya eksis dan terus berkarya. Whenever, wherever…
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More